Menyebarkan hoax adalah sebuah kasus yang sulit dihindari di era modern. Cepatnya sirkulasi informasi yang ditunjang dengan teknologi maupun jaringan internet membuat siapapun dapat menikmatinya. Tidak jarang, banyak orang yang tertipu karena menelan mentah-mentah seluruh informasi yang ada. Padahal tidak seharusnya seluruh informasi di media sosial dapat dipercaya khususnya yang berasal dari non portal pemberitaan. Lantas apa hukum penyebar hoax yang diketahui sebagai tindakan merugikan? Bisakah Pengacara Jogja membantu mengatasi permasalahan ini?

Perlu diketahui jika pertumbuhan pengguna media sosial di Indonesia turut menjadi faktor banyaknya penipuan yang menimpa masyarakat. Kurangnya literasi digital menjadi faktor utama mengapa banyak sekali hoax yang beredar di media sosial maupun via personal chat. Perlu adanya sosialisasi agar jumlah korban tidak semakin banyak. Terlebih penyampaian pesan tentang hukuman bagi pelaku perlu disampaikan untuk menimbulkan efek waspada terhadap siapapun yang berniat buruk melakukannya.

Baca Juga : Pasal Pencemaran Nama Baik

Hukum Yang Mengatur Penyebaran Hoax

Seperti yang banyak diketahui masyarakat, hoax diartikan sebagai berita bohong yang termasuk dalam tindakan pidana. Seseorang yang diketahui menyiarkan maupun menerbitkan berita bohong akan dihukum berdasarkan undang-undang yang berlaku. Hal ini berlaku bagi siapapun yang sengaja maupun tidak sengaja menyebarkan dengan menghasilkan dampak yang merugikan bagi masyarakat luas. Sehingga penindakan terhadap tindakan pidana ini juga diberlakukan secara tegas meskipun sepele.

Namun sebenarnya tidak ada masalah yang tampak sepele di depan hukum, apapun yang telah dituliskan adalah bentuk peraturan yang harus ditaati dan sebisa mungkin dihindari untuk ketertiban hidup bersama. Peraturan perundang-undangan tentang hoax diatur dalam pasal 28 ayat 1 tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Bagaimana konsekuensi dan sanksi pidana yang diberlakukan? Berikut rincian undang-undang dan isinya.

Hukum Penyebaran Hoax

Konsekuensinya Apa?

Saat ini, pasal yang berlaku untuk menangani tindak penyebaran hoax adalah pasal 45A ayat 1 UU nomor 19 tahun 2016. Pada peraturan ini disebutkan jika siapapun yang menyebarkan berita bohong dengan efek yang menyesatkan dan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau publik diancam pidana maksimal 6 tahun dan/atau denda terbanyak Rp 1 miliar. Undang-undang ini berlaku sebagai hukum penyebar hoax sejak dihapusnya pasal 14 yang memberlakukan sanksi 3-10 tahun dan maksimal 2 tahun untuk pasal 15.

Pertimbangan perubahan atas digantinya undang-undang tersebut oleh mahkamah adalah tentang penggunaan kata “keonaran” yang menimbulkan multitafsir dengan beberapa kerusuhan lain seperti kegemparan dan keributan yang tidak bisa diukur secara kuantitatif. Adapun peraturan tentang tindak penyebaran hoax juga diberlakukan pada UU Nomor 1 Tahun 2023 KUHP baru yang akan berlaku di tahun 2026. 

Di dalamnya tertera dengan jelas jika seseorang yang di maksud menyebarkan kabar hoax untuk menguntungkan diri sendiri dan melawan hukum akan berlaku pidana 2 tahun 8 bulan sampai paling lama 3 tahun. Sementara itu denda yang akan berlaku juga masuk dalam kategori IV yang mana masuk dalam range sekitar Rp 200 juta. Seluruh peraturan tersebut tercantum dalam pasal 390 KUHP dan pasal 506, 263, dan 264 UU Nomor 1 tahun 2023.

Apa Saja Yang Termasuk Dalam Tindakan Penyebaran Hoax?

Berdasarkan hukum penyebar hoax, tentunya terdapat kriteria bagi pelaku tindak pidana tersebut antara lain yaitu tindakan yang menyebabkan kerugian materil dalam transaksi elektronik, menimbulkan rasa kebencian SARA, dan menimbulkan kerusuhan di masyarakat luas.